Jumat, 28 September 2012

Seberapa Siap Kamu Menikah??

Bangun tidur cium pipi, ngucapin selamat pagi terus sibuk ngurus burung-burung kesanyangan. Kadang lupa kalau sudah siang, belum mandi, belum sarapan. Arrrrrg, itu yang suka bikin saya ngomel-ngomel pas pagi hari.

Hmm,, sering merasa belum terbiasa dengan semua keadaan ini. Tiba-tiba saja ada orang lain yang harus saya pikirkan sama dengan saya memikirkan diri sendiri. Memprioritaskannya seperti saya memprioritaskan saya sendiri, membahagiakan dia seperti saya membahagiakan saya sendiri, membuatnya nyaman senyaman saya mengusahakan pada diri sendiri. Ini tentu bukan perasaan yang bisa saya rasa pada setiap orang.

Hidup menuntut saya lebih dewasa, karena tak pernah mudah membiasakan memberi daripada diberi, memanjakan daripada dimanjakan, memperhatikan daripada diperhatikan. Saya dan suami harus terus mencoba bermetamorfosa untuk mewujudkan satu impian besar, membangun rumah tangga yang bahagia dan selamat dunia akhirat. 

Utamanya dia sebagai laki-laki. Dia banyak berubah dari hari pertama saya mengenlnya. Dia yang didewasakan oleh keadaan pada masa lalu, kini semakin bertambah dewasa karena kesadaran perannya sebagai kepala rumah tangga. Meskipun, laki-laki itu anak-anak seumur hidup. Senang dimanjakan, senang dilayani, suka dipeluk, hehehe. 

Sedikit referensi mungkin bagi yang belum menikah, tulisan ini mungkin bisa menjadi sedikit gambaran tentang bagaimana kehidupan dalam rumah tangga itu. Saya pernah membaca buku dari Asma Nadia berjudul Musahabah Cinta Seorang Istri. Kurang Lebih seperti ini isinya:

Seberapa Siap Kamu Menikah?

Untuk kamu yang belum menikah, please jangan tergesa menjawab pertanyaan ini. Percayalah (sambil melirik sesama istri), we used to think it can't be that hard.
Biasalah, angan-angan indah bertebaran di kepala muslimah yang belum menikah, dan saya yakin saya nggak sendiri.
Dan angan itu biasanya yang indah-indah...
Duh enaknya jika sudah menikah.
Why So?

  • ada yang merhatiin
  • ada yang antar jemput
  • ada yang kasih uang belanja dan dapat jatah jajan bulanan
  • ada yang selalu siap dengerin curhat
  • ada si dia tempat mengekspresikan perasaan sayang dan cinta kita
  • ada yang menganggap kita spesial
  • ada yang manjain kita
  • ada partner untuk mendidik dan membesarkan anak dan membuat keluarga islami
  • ada yang membantu mengarahkan potensi kita
  • ada teman setia untuk jalan-jalan
  • ada teman nyuci, nyetrika, masak, ngepel
  • dll
The thing is... mungkin di awal-awal pernikahan beberapa angan kita tentang pernikahan terbukti. 
Jalan-jalan bareng terutama semasa honeymoon. Si dia selalu berada di sisi kita, ketika cinta masih berwarna merah muda. Selalu mengantar jemput, mendengarkan seabrek curhatan kita.
Tetapi kehidupan akan bertambah keras, dan umumnya pasangan harus berjuang, dan istri tak bisa lagi bergaya sebagai si imut yang manja, yang menuntut untuk selalu menjadi prioritas utama suami, atau lebih kerennya Cinderella yang menjadi pusat perhatian Sang Pangeran.
Bukan hanya suami, istri juga mengalami ini sih. Nggak usah jauh-jauh. The minute kita punya anak pasti first priority bergeser, bukan si ayah lagi. Kini anak jadi tumpuan perhatian dan kasih sayang.

Bukan berarti lantas pasangan menjadi tidak penting lagi. Tetapi ketika terjadi perubahan dalam hidup, telepas apakah terkait pekerjaan, situasi ekonomi, tempat tinggal, posisi dan jabatan, bertambahnya anggota keluarga, wajar jika prioritas ditinjau kembali atau ikut mengalami perubahan.
Realitasnya kira-kira begini, saat hanya berdua dengan suami, maka energi dan perhatian istri hanya terbagi dua, begitu juga situasinya dengan suami. Saat hadir anak pertama, maka energi dan perhatian akan terbagi tiga, dan begitu seterusnya.
Jika memahami ini, lontaran hati yang mungkin pernah tercetus di hadapan pasangan ketika ngambek:
"aku ngerti kok, sekarang aku memang bukan prioritas lagidalam hidup kamu!".
Tidak akan semudah itu keluar. Kecuali jika suami memang nyata-nyata menunjukkan sikap tidak bertanggung jawab, tidak memberikan nafkah lahir batin padahal dia mampu, atau sibuk dengan kegiatan tidak penting di luar kantor, hingga tidak punya waktu lagi untuk istri dan anak-anak. Atau menganiaya pasangan.
Keberadaan suami sebagai partner untuk membesarkan anak-anak menjadi generasi rabbani juga tenyata bukan merupakan kepastian. Cukup banyak kaum ibu yang mengeluh kepada saya , karena memiliki suami yang cuek dan tidak peduli, boro-boro memiliki konsep mengarahkan anak-anak. Sebagian ayah merasa sudah menunaikan tanggung jawab jika sudah memberikan uang belanja dan uang sekolah anak-anak.
Disinilah kreativitas seorang ibu dan kekuatan hati dibutuhkan. Siapkah jika tenyata ruang ini hanya kita isi sendiri tanpa uluran tangan suami.
Pun harapan lain seperti soal belanja rutin, uang jajan, serta semua kenyamanan hidup. Kehidupan dengan begitu banyak teka-tekinya menuntut perisiapan kita, seorang istri untuk bisa mandiri secara ekonomi, jika sesuatu yang tidak kita harapkan terjadi.
Sesuatu yang saya maksud, tidak semata-mata hal-hal menyangkut perilaku suami, seperti melakukan perselingkuhan, atau menikah lagi dan menjadi kurang perhatian, atau mungkin terjadi perceraian.
Tetepi juga untuk kemungkinan-kemungkinan lain. Misal, jika suami kehilangan pekerjaan, atau dimutasi sehingga pemasukan keluarga berkurang lima puluh persen misalnya. Atau jika suami sakit bahkan meninggal dunia.
Dan ah... betapa rapuhnya kehidupan. Kematian bisa terjadi kapansaja, menghampiri siapa saja, dalam keadaan apa saja. Bahkan ditempat tidur, hanya berselang dua menit setelah saling mengucapkan selamat malam.
Bukan hal ringan...telebih jika terjadi apa-apa dan anak-anak banyak, dengan usia yang masih kecil-kecil pula. 
Mampukah kita mengambil alih tanggung jawab yang selama ini berada di pundak suami, dan tetap mampu menyejahterakan anak-anak, menjamin pendidikan, sandang, pangan, dan papan mereka, ketika hal-hal yang tidak diinginkan tejadi?
Jika jawabannya tidak, maka tebayang..bertambah lagi anak-anak yatim yang terlantar.
Tapi...jangan stress dulu.
Tidak berarti seorang perempuan harus mapan dan kaya raya dulu sebagai syarat kesiapan menikah. Rezeki Allah maha luas. Yang terpenting ada upaya serius bagi setiap istri dan calon istri untuk membangun potensi dan mengasah diri, hingga paling tidak jika tak memiliki usaha, dia memiliki skill yang akan membuatnya dengan mudah bisa berusaha atau bekerja.
Nasib anak-anak, Allah hampirkan di pundak seorang ibu, ketika seorang ayah tak lagi bisa mensuport dengan berbagai alasan.
Menikah bukan hanya persoalan mau, sudah ada calon atau belum. Tetapi sebuah kehidupan dengan tanggung jawab besar menanti kita. Dan itu membutuhkan kesiapan jasad, ruh dan akal.
                                           ................................................................................

0 komentar:

Posting Komentar