Jumat, 14 September 2012

Gerimis




Aku setengah berlari menyusuri trotoar yang semakin basah oleh hujan siang itu. Ku masuki salah satu cafe yang ada di seberang rumah sakit dengan terburu-buru.  Seorang wanita berjilbab biru muda melambaikan tangan ke arahku.

"Na, di sini" ucapnya. 

Ku hampiri wanita di meja  sudut cafe itu sambil mengusap rambutku jadi basah dan berantakan oleh hujan tadi. 

"udah lama yaa nunggunya?, maaf tadi tiba-tiba Pak Rio minta aku segera selesaikan laporannya sore ini juga" ucapku menjelaskan.

"Ga kok, aku juga baru aja datang" Balasnya sambil menyodorkan tisu "nih, lap tuh rambut kamu basah gitu".

"Iya nih tau musim hujan gini aku malah ga bawa payung, kamu ga buru-buru pulang kan? udah bilang sama Putra kan mau ketemu sama aku?".

Riri tersenyum lembut,"sudah, dia juga pulang agak telat nanti. Shafa hari ini lagi di rumah eyangnya, disuruh nginep jadi aku punya waktu banyak hari ini buat ngobrol sama kamu, eh aku udah pesenin kamu coklat anget, pas banget kan ujan-ujan gini?" ujarnya.

Aku tersenyum, sahabatku ini selalu tau apa yang aku butuhkan. "ehmm,, Iya kamu ga ajak Shafa kesini aja tadi, aku kan kangen sama dia lama ga ketemu".

Lagi- lagi Riri tersenyum, di ambilnya hp di tas, lalu ditunjukkan foto gadis kecil berambut keriting menggemaskan "Dia sekarang sudah masuk play grup, sudah mau aku tinggal sendiri". 

Obrolan kami sejenak terhenti oleh datangnya pesanan hot chocolate kami, minuman favorit kami berdua sejak masih sama-sama kuliah dulu.

"Mas Hendra apa kabar Na? dia ga pulang? weekend ini? lontar Riri tiba-tiba.

"Enggak Ri, dia banyak kerjaan...". Ucapanku terhenti membayangkan betapa lelahnya suamiku. Aku tau pekerjaannya kadang menuntutnya untuk bekerja lebih berat dari rekannya yang lain. Semakin perih membayangkan saat dia begitu lelah tidak ada sosok istri yang menantinya di rumah, tidak ada sambutan saat dia tiba di rumah, tidak ada menyiapkan secangkir teh panas untuk mengurangi lelahnya. Ah, membayangkan itu membuatku semakin sedih. Wajar mungkin jika dia memang masih lajang, tapi dia sudah menikah, sudah beristri,, aku. 

"Na"

"Na"

"Na, kenapa kamu?"

Lamunanku memudar oleh panggilan Riri. Aku tersenyum getir, "ga papa Ri". Ucapku membohonngi Riri dan.. membohongi diriku sendiri. Riri memandangku tak percaya, aku salah kalau bisa membohonginya dengan jawabanku tadi. Dia sahabatku yang paling mengerti apa yang ku rasa.

"Kamu ga pengen pindah Ke Bandung Na? kalian ga bisa kan tinggal berjauhan seperti ini, sudah 3 tahun kalian hidup berjauhan, apa kamu ga pengen keluarga yang normal?" Tanya Riri hati-hati. Dia tahu ini topik paling sensitif buatku. Tidak biasanya dia membuka hal ini sebagai topik pembicaraan jika bukan aku dulu yang mengungkapkannya.

Aku menghela nafas panjang, tak tau harus menjawab apa. Aku merasa begitu egois, sangat egois.Kadang aku ingin menyusul suamiku ke Bandung, tinggal di sana. Tetapi aku merasa sayang pada pekerjaanku di sini, pekerjaan ini begitu ku cintai, pekerjaan yang sudah aku idamkan sejak aku masih sekolah dulu. Dan kini aku berhasil meraihnya, jabatan yang penting di kantor juga kepercayaan atasanku padaku. Semua pekerjaan bisa ku selesaikan dengan baik dan memuaskan. Karirku cemerlang, pekerjaanku sempurna, materi yang ku milikipun lebih dari cukup tapi.... ku lihat Riri, sahabatku dari kuliah ini, dia mungkin hanya ibu rumah tangga, tidak memiliki jabatan, suaminya juga hanya seorang dosen di universitas negeri. Tetapi hidupnya terlihat sangat sempurna, bukan hanya terlihat, aku tahu persis hidupnya sangat bahagia. Putra memang menyuruh Riri berhenti bekerja saat mereka mau menikah dulu. Putra beralasan dia tak ingin anaknya tidak mendapat perhatian yang cukup dari orang tuanya jika semua bekerja di luar rumah. Padahal tadinya dia bekerja di kantor yang sama denganku. Dia melepas semua itu demi keluarganya. 

"Na, maaf kalau perkataanku tadi membuatmu tak nyaman. Tapi sebagai sahabatmu aku melihat kondisimu dan Mas Hendra tak semestinya di biarkan seperti ini terus".

Aku membenarkan ucapan Riri, Mas Hendra mungkin memang lelaki yang sangat pengertian. Ia tak pernah mengeluh mengenai kondisi kami yang seperti ini, yang harus berjauhan dengan istrinya. Dari awal menikah dia memang cukup tau diriku yang sangat mencintainya pekerjaanku, suamiku bahkan tak pernah menuntutku untuk meninggalkan pekerjaanku dan mengikutinya ke Bandung. Dia mengalah, pulang ke Jogja Tiap 2 minggu atau sebulan sekali untuk bertemu denganku. Dia mengerti pekerjaanku jarang mempunyai libur yang memungkinkan aku ke Bandung untuknya. Ahh, entah mengapa rasa rinduku padanya begitu membuncah. Betapa aku ingin berada di dekatnya sepanjang waktu. Menantinya di rumah, dengan si kecil yang...sampai sekarang kai belum memilikinya. Di usia pernikahan yang ke 3 kamu bahkan belum dikarunia anak, yang jujur begitu kamu rindukan. Hebatnya suamiku juga tak pernah meributkan hal ini. Aku merasa begitu bersalah pada Mas Hendra, pada keluarga kami.

"Mas hendra itu laki-laki Na, mungkin dia diam karena mengalah pada egomu. Tapi jangan kamu terus memaksa dia terus mengerti kamu mengikuti maumu, dia pasti ingin keluarga yang utuh, bersama, ada tangis dan tawa anak kecil". "Kamu tak bisa terus menuntut pegertiannya, bagaimanapun kamu wanita Na, kamu istrinya".

Riri memmandangku lekat-lekat, dia terlihat sangat serius. 

"Kamu ga bisa begini terus, sebaiknya kamu pikirkan baik-baik ucapanku. Suamimu berhati lapang, tetapi siapa yang tau jika dia juga lelah dengan kondisi ini, apalagi berjauhan itu banyak godaan Na". 

                                                      ..............................

Sepanjang jalan menuju rumah aku terus terngiang ucapan Riri, dalam hati aku mulai mengiyakan semua perkataannya. Aku terlalu egois pada Mas Hendra, suamiku orang yang sabar, pegertian, dewasa. Aaah,,apa harus dia yang selalu mengalah. Aku takut dia perlahan berpaling, jarak seperti perkataan Riri bisa merenggangkan hubungan. Terlebih Mas Hendra memang lelaki yang menarik, punya jabatan bagus, wanita mana yang tak mau dengannya. Rasa khawatirku semakin memuncak. Aku menepikan mobilku di bawah sisa-sisa gerimis bulan Januri itu. Aku raih handphoneku.... 

"Halo.." ucap suara di seberang. Suara yang terdengar begitu berat dan lelah.

"Halooo, sayang" ulangnya

Aku tak kuasa berkata, tak terasa mataku memanas, betapa aku sanagat merindukannya. 

"Halo mas, masih di kantor?" jawabku sambil berusaha menyamarkan perasaan sesak di dadaku.

"Iyaa sayang, masih ada beberapa laporan. Kamu sudah di rumah? jadi ketemu Riri tadi?".

"Iyaaa Mas" aku tercekat tak tau berkata apa. "aku kangen kamu mas" ucapku akhirnya

Kudengar desahan perlahan di seberang, tampak dia juga merasa perasaa yang berat. "Mas juga sayang, maaf yaa mas belum bisa pulang minggu ini, banyak sekali pekerjaan, mungkin sabtu depan mas ke Jogja, sabar yaa sayangkuu" balasnya lembut.

Mendengar perkataannya aku tak kuasa menahan air mataku lagi, tangisku pecah.  

"Sayang kamu gapapa kan? maaf yaa,, apa mas perlu segera pulang?"

Isak tangisku makin keras, betapa dia malah menyalahkan dirinya, padahal aku yang salah. Aku yang menyebabkan kondisi seperti ini. Ku kuatkan diriku. "Ga papa mas, aku cuma kagen mas aja. Ga usah mas, aku tunggu sampai sabtu depan saja. Ya udah mas aku mau mandi dulu yaa, tadi habis kena air hujan". Terdengar sedikit omelan suamiku, kenapa sampai kehujanan. Telepon aku tutup saat aku yakinkan aku baik-baik saja.

                                                 .............................

Jum'at ini perasaanku ringan sekali, rasanya tidak pernah sebahagia ini. Aku terbangun desa penrasaan yang lain seperti biasanya. Ku lihat jam di handphoneku, setengah 6, masih sangat pagi. Kubayangkan suamiku pasti masih terlelap dengan lelahnya. Akan ku beri suamiku kejutan pagi ini.

"Halo mas" 

Terdengar suara parau  "Iya sayang, mas agak ga enak badan ini semalam pulang agak malam. Mungkin mas ga ke kantor hari ini".

"Mas sakit? gimana yang dirasain mas?" ucapku khawatir

"Cuma lemes aja sayang, mungkin kecapean aja" 

"aku ke Bandung yaa?"

"Ga usah sayang, Mas aja besok ke Jogja, nanti minum obat juga sudah baikan ". Suamiku berusaha menenangkan.

"aku tetap mau ke Bandung mas" timpalku ngeyel

"aku sudah kemasi barang-barangku kok, aku terbang nanti sore, ga usah jemput nanti aku naik taksi aja".

Suamiku terdiam sejenak "Mas tuh gapapa, sayang ga usah ijin kerja cuma buat ke Bandung, besok sayang kan ga libur". Dia berusaha meyakinkanku

"Pokoknya aku mau ke Bandung, lagian senin depan aku libur, selasa juga libur, rabu libur, kamis juga libur selamanya aku libur mas" ucapku diiiringi tawa.

Suamiku masih tak mengerti perkataanku sampai ku jelaskan aku sudah resign dari kantorku, surat pengunduran diri sudah diterima bosku mesti dengan berat hati, berhari-hari aku berusaha meyakinkan bosku bahwa aku tak bisa bekerja lagi. dia terima setelah aku merekomendasikan rekanku yang juga memiliki kinerja bagus. 

"akhirnya kamu mengerti sayaang" kata suamiku akhirnya. Terdengar sangat bahagia

"mas selama ini diam karena yakin sayang akan mengerti dengan sendirinya, Mas yakin sayang istri yang baik, yang akan mengerti bagaimana sebaiknya yang harus dilakukan tanpa perlu mas katakan, walaupun harus mas tunggu  3 tahun, Love u sayang" ucapnya tulus.

Aku kembali terisak, tapi kali ini tangis bahagia. Bahagia karena sebentar lagi aku akan memiliki keluarga yang utuh, yang memang seharusnya. Aku tak sabar memeluknya, dan menumpahkan rinduku padanya. 

"Terima kasih Mas, sudah begitu sabar 3 tahun ini. Love u more Mas". 

                                      ...................................................................



* cerita ini diilhami oleh kisah LDR sahabatku Ratna Yuliasari..terima kasih atas inspirasinya, dan maaf aku pake namamu :)) moga kamu suka ceritanya..Jangan galau karena LDR yaa??






0 komentar:

Posting Komentar