Usiaku waktu itu mungkin masih 9 atau 10 tahun, hal yang paling ku sukai adalah bermain. Bermain apa saja, masak-masakan, dokter-dokteran, rumah-rumahan, boneka, dan banyak permainan lain di luar rumah. Tapi satu yang paling ku sukai adalah berpetualang, tentu bukan petualangan seperti di tv-tv itu, bukan petualangan mencari harta karun atau petualangan di hutan karena melarikan diri dari penculik. Bukan seperti itu, ini petualangan yang sederhana, petualangan penuh tantangan yang aman bagi anak kecil seumuranku. Aku terlahir di sebuah desa di kaki Gunung Perahu, sebuah gunung yang ada di Jawa Tengah bagian tengah. Aku sangat bahagia terlahir di sana, bahkan jika dulu diijinkan memilih oleh Tuhan sebelum dilahirkan, aku tetap akan meminta terlahir di Pikatan, desa di kaki gunung.
Seperti umumnya desa di kaki gunung, desaku sangat asri, dikelilingi rangkaian perbukitan yang seperti melingkar membentengi kampungku. Dari ketinggian, akan terlihat hamparan sawah yang menghijaukan pandangan, Lalu di sisi barat mengalir kali yang jernih lengkap dengan batuan-batuan besar. Jika menjadi anak yang terlahir di desa sepertiku, keindahan alam seperti itu merupakan suatu anugrah yang luar biasa, bagaimana alam mmenjadi area bermain gratis yang sangat menyenangkan. Bermain menjadi rutinitas, sepulang sekolah pasti bermain dan pulang menjelang matahari terbenam (wajar ibu dan bapakku sering memarahiku). Terlebih saat hari minggu, bisa seharian aku tidak pulang, karena selepas sarapan pasti aku sudah bertualang. Bertualang ke sawah, mandi di kali, ke kebun tetangga, tapi yang ku favoritkan adalah bermain di kali dan sawah. Tak heran bakaran sinar matahari tiap harinya membuat kulitku kering dan hitam, rambut memerah, aku tak peduli, karena apalah arti penampilan bagi anak kecil. Aku lebih peduli pada banyaknya ikan di sawah yang bisa ditangkap, lebih peduli pada rayuan mandi di kali sambil menaiki batang pohon pisang, atau lebih peduli pada pohon jambu di sawah tetangga. Hmm,, dan rasanya terlalu sayang tidak menaikkan layangan saat udara begitu cerah dan angin sangat bersahabat. Indahnya hidupku waktu itu, indahnya masa kecilku.
Tentang bertualang, aku punya teman yang kompak, 3 orang. Aku, Nang, dan Ali, semua laki-laki kecuali aku. Tiap hari kamu bermain bersama, ke sawah memetik jambu, ke kali bermain air, mencari kayu sengon dan kopi untuk memasak, mencari lempung untuk dibuat mainan, bermain layangan. Lalu pulang sore hari saat kumandang Qiro' dari masjid desa sudah menyeru.
Aku bahagia dengan hidupku, dengan masa kecilku yang sempurna. Bangga terlahir sebagai anak desa, anak gunung. Aku rindu teman-teman masa kecilku, yang saat ini sudah terpisah jauh, melesat dari hidupku seperti angin. Mereka mendewasa bersamaku, menantang hidup yang semakin keras bagi orang-orang dewasa. Mereka begitu ku rindukan, bertualang, memaknai indahnya masa kecil anak-anak dusun yang jauh dari pengaruh modernisasi jaman. Anak-anak dusun yang bersahabat dengan alam.
Aku rindukan semilirnya angin kemarau di desaku, pada hamparan sawah menguning kala musim panen, merindukan birunya langit di hari minggu, merindukan cicit burung-burung di kebun belakang rumahku, pada jernihnya air di kali, pada sapaan ramah orang-orang disepanjang jalan. Aku rindukan terbangnya layang-layang disertai gemuruh tawa anak-anak yang ceria, bahkan pada beceknya lapangan yang dipenuhi anak-anak kecil berlarian di bawah hujan.
Aku rindukan semilirnya angin kemarau di desaku, pada hamparan sawah menguning kala musim panen, merindukan birunya langit di hari minggu, merindukan cicit burung-burung di kebun belakang rumahku, pada jernihnya air di kali, pada sapaan ramah orang-orang disepanjang jalan. Aku rindukan terbangnya layang-layang disertai gemuruh tawa anak-anak yang ceria, bahkan pada beceknya lapangan yang dipenuhi anak-anak kecil berlarian di bawah hujan.
Tuhan...aku rindu masa kecilku
0 komentar:
Posting Komentar